Seharusnya menginjak pedal rem, malah menginjak gas.” Itulah temuan polisi dari hasil pemeriksaan Afriyani Susanti, pengemudi Daihatsu Xenia yang menabrak dan menewaskan sembilan pejalan kaki di dekat Tugu Tani, Jakarta Pusat, Ahad dua pekan lalu.
Tragedi salah injak pedal terjadi lantaran wanita 29 tahun itu berada dalam pengaruh narkoba–narkotik dan obat berbahaya lainnya, termasuk zat psikotropika--yang dikonsumsinya beberapa saat sebelumnya. Rupanya halusinasi masih mencengkeram kuat dalam otaknya.
“Halusinasi dan menurunnya kesadaran yang dialami Afriyani adalah beberapa gejala intoksikasi atau efek buruk akibat penyalahgunaan narkoba atau zat psikotropika," kata psikiater Syailendra W.S. kepada Tempo di rumahnya, Jumat lalu. Efek itu terjadi karena zat tersebut bekerja pada sistem neurotransmitter di otak.
Dokter spesialis kesehatan jiwa yang berpraktek di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta ini menjelaskan, saat indra mengirim sinyal ke otak, respons otak berbeda dengan kenyataan. Sebab, neurotransmitter otak terganggu oleh zat tersebut. “Saat jarak sudah dekat, dia mengira masih jauh sehingga berani mengebut,” ujarnya.
Tiap jenis zat psikotropika menimbulkan gejala yang berbeda. Penggunaan sabu-sabu dan ekstasi, misalnya. Narkoba jenis amfetamin yang dikonsumsi Afriyani ini bekerja pada sistem neurotransmitter dopaminergik dan serotoninergik. Penyalahgunaan zat psikotropika tersebut membuat penggunanya berperilaku mal-adaptif atau menyimpang.
Syailendra menjelaskan pengguna akan mengalami perubahan perilaku jika menggunakan zat tersebut, seperti euforia (gembira yang meningkat berlebihan), perubahan sosialitas (menjadi penyendiri), fobia berlebihan, cemas, tegang, sulit konsentrasi, marah, dan gangguan sosial. Sementara itu, gejala fisik yang timbul adalah jantung berdebar, tekanan darah meningkat, banyak keringat, mual, muntah, dan sulit bernapas. Tak hanya itu, bisa juga terjadi gangguan irama denyut jantung, kejang, dan yang terberat adalah koma, atau bahkan kematian.
Efek buruk yang dihasilkan zat tersebut akan semakin parah pada tahap penggunaan multiple drugs. “Kalau penggunaannya dicampur, akan bertambah kacau lagi. Zat itu akan saling bersinergi daya rusaknya,” kata guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dadang Hawari.
Pengaruh zat tersebut, kata Dadang, bisa bertahan dua-tiga hari. Celakanya, meski banyak yang tahu tentang dampak negatif zat tersebut, masih banyak orang mengkonsumsinya. Hal itu terjadi lantaran zat tersebut bersifat adiktif alias menimbulkan ketergantungan. “Karena itu, kalau disuruh pilih makan atau narkoba, mereka akan pilih narkoba,” ujar Dadang.
Ketergantungan, antara lain, ditandai oleh peningkatan dosis untuk mencapai efek yang sama. Bila penggunaan awal sebanyak tiga hari sekali, lama-kelamaan akan bertambah menjadi dua hari sekali, sehari sekali, hingga dalam hitungan jam sekali.
Ciri lainnya adalah putus zat (withdrawl). Di kalangan masyarakat, putus zat ini biasa dikenal dengan istilah sakaw. Putus zat sebenarnya adalah saat tubuh sedang tidak merasakan efek zat. “Sedangkan tubuh pecandu menginginkan efek tersebut terjadi terus-menerus,” kata Syailendra.
Ihwal ketersediaan barang haram ini, Dadang maupun Syailendra menyatakan tak sulit bagi pecandu untuk mendapatkannya. Sebab, barang tersebut bisa didapat di tempat hiburan malam. Bahkan, kini narkoba sudah masuk hingga ke kampung-kampung.
Menurut data Badan Narkotika Nasional, pengguna narkoba (tanpa memperhitungkan konsumen minuman keras) di Indonesia sekitar 3,8 juta orang. Namun, Dadang yakin angka sebenarnya jauh di atas itu. “Ini kan fenomena gunung es. Jumlah penggunanya bisa mencapai 10 kali lipat dari angka resmi yang dikeluarkan BNN,” katanya.
AMIRULLAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar